Membangun Tanpa Henti: Dampak Ekspansi Kawasan Industri pada Lahan Pertanian
Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sering kali dibayar mahal dengan pengorbanan lahan produktif. Dampak Ekspansi Kawasan Industri (KI) yang massif dan tak terkendali di pinggiran kota kini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan dan keseimbangan ekologi. Konversi lahan pertanian subur menjadi pabrik dan gudang telah memutus mata rantai produksi pangan lokal, menggeser profesi petani, dan menciptakan masalah sosial-ekonomi yang kompleks. Jika tren pembangunan tanpa henti ini tidak dikelola dengan bijak, janji industrialisasi untuk kesejahteraan justru akan menjauhkan masyarakat dari Kemandirian Finansial yang berkelanjutan dan berbasis sumber daya alam.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa rata-rata laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian di daerah penyangga ibu kota mencapai 500 hektar per tahun selama periode 2020-2024. Dampak Ekspansi yang paling terasa adalah hilangnya lahan sawah produktif yang menyokong hasil panen dua kali setahun. Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Distan KP), Ir. Risa Handayani, M.S., mengungkapkan keprihatinannya. “Tahun 2023, kami kehilangan 80 hektar lahan irigasi teknis di Sub-Daerah Irigasi (SDI) Cijantung akibat pembangunan klaster logistik baru. Lahan tersebut adalah penyumbang 10% produksi padi lokal. Jika ini terus terjadi, swasembada pangan lokal hanya akan menjadi mimpi,” jelas Ir. Risa dalam rapat koordinasi lintas sektor pada Rabu, 13 November 2024.
Selain masalah kuantitas lahan, Dampak Ekspansi KI juga memicu masalah kualitas lingkungan. Aktivitas industri, meskipun diwajibkan memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), sering kali melepaskan limbah ke saluran irigasi dan sungai. Akibatnya, kualitas air untuk pertanian menurun drastis, menyebabkan gagal panen atau penurunan kualitas hasil pertanian. Komunitas petani lokal, di bawah naungan Kelompok Tani Makmur Sejahtera, telah mengajukan protes keras kepada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) pada Senin, 18 November 2024. Mereka menuntut audit lingkungan mendalam terhadap tiga pabrik tekstil yang diduga membuang limbah cair secara ilegal setiap malam, sekitar pukul 23.00 WIB.
Menyikapi Dampak Ekspansi ini, Komisi B DPRD telah menginisiasi revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bertujuan memperketat izin konversi lahan. Ketua Komisi B, Bapak Firman Hidayat, S.H., M.Si., menegaskan bahwa perlindungan Lahan Sawah Dilindungi (LSD) harus menjadi prioritas. “Pemerintah harus berani menolak investor yang ingin merusak lahan pertanian produktif. Prioritas kita adalah menyeimbangkan industrialisasi dengan ketahanan pangan,” ujar Bapak Firman. Pihak kepolisian pun, melalui Unit Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus), sedang menyelidiki dugaan mafia tanah yang bermain dalam proses jual beli lahan di bawah harga pasar kepada investor. Fenomena ini menunjukkan bahwa tanpa kebijakan yang kuat, Dampak Ekspansi industri akan terus mengikis aset dasar warga dan menggagalkan upaya mereka meraih Kemandirian Finansial melalui sektor pertanian yang seharusnya menjadi kebanggaan.
